WISATA ARUNG JERAM DI DESA SAWANGAN

KEGIATAN RAFTING DI SUNGAI SAWANGAN

KEGIATAN RAFTING DI SUNGAI SAWANGAN

LOGO SEMENTARA DARI RURUWAWA RAFTING CLUB

LOGO SEMENTARA DARI RURUWAWA RAFTING CLUB

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

SEJARAH DESA …….

pengambilan gambar, Oktober 2011 oleh Calvin
TERBENTUKNYA SISTEM PEMERINTAHAN DI WANUA SAWANGAN

oleh : Pnt. Franky Sondey

(copy diizinkan  namun sumber tolong dicantumkan)

Musyawarah adalah salahsatu cara para Wadian /Tu’udan untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah, maka setelah selesai musyawarah di Watu Pinawetengan, setiap anak suku Malesung  dipimpin tonaas masing masing kembali dengan para walak (pemerintahan otonom,  kumpulan beberapa desa/ wanua).

Anak suku Tountewu mendapatkan wilayah di Timur Laut Malesung (Sendangan Amian), dipimpin oleh Tonaas Walalangi dan Walian Rogi mereka berangkat menuju ke arah Timur Laut dan menetap di suatu tempat yang bernama Niaranan (Wulauan sekarang). Untuk sekian lama Niaranan menjadi pusat pemerintahan Tountewu yang meliputi hulu sampai hilir sungai Tondano (Ares dan Singkil), kaki pegunungan Dembean, pesisir pantai Timur Malesung (Maandon sampai Linekepan).

Dari Niaranan, sebagian penduduk dengan keluarganya masing-masing ditugaskan mencari sumber mata air, hingga tibalah mereka di daerah Kulo (We’welen sekarang) dan akhirnya menjadi pemukiman yang sekarang bernama Kembuan.

Sedangkan kelompok yang lain tiba di hulu sungai Saduan, yang dinamakan Dano Tua, yang akhirnya menjadi pemukiman yang bernama Kayu Pute.

Berawalnya terbentuk suatu komunitas di desa ini saat datangnya sekelompok orang yang berasal dari daerah Kembuan pada kurang lebih tahun 900 yang dipimpin oleh Tu’udan Dotu Runtuwarouw yang menempati daerah selatan desa Sawangan saat ini, suatu tempat yang bernama Tumpaan.

Setelah perjalanan waktu yang panjang, berawal dari mewabahnya penyakit sampar saat itu yang menelan banyak korban, pada kurang lebih tahun 1211 komunitas ini kemudian berpindah tempat menyusuri sungai Tondano, hingga tiba pada pertemuan 2 sungai (sungai Saduan dan sungai Tondano) komunitas ini kemudian menempati tempat tersebut yang sampai saat ini disebut Sawangan (yang mempunyai arti : pertemuan dua sungai, saling membantu, saling menguatkan satu dengan yang lainnya).

Sebagai Walian/Wadian saat itu, masih dipegang oleh keturunan dari dotu Runtuwarouw ditemani oleh beberapa Tona’as sebagai panglima perang antara lain Tonaas Rorimpandey dan Tonaas Ruruwawa yang kemudian anak cucu mereka juga sempat menjadi Walian/wadian di wanua ini.

Dalam kurun waktu yang tidak lama, komunitas ini berhasil membina hubungan yang baik dengan komunitas yang ada di sekitar Wanua tersebut, termasuk wanua Kayu Pute yang terletak di hulu sungai Saduan (nama lain : Dano Tu’a) dan kemudian terjadi kawin mawin antara kedua wanua ini dan pada akhirnya  pada kurang lebih tahun 1300-an karena wanua Kayu Pute terlalu sering dilanda banjir dari sungai Saduan, wanua Kayu Pute (yang batas sebelah selatannya adalah daerah Walantakan –Tonsea Lama saat ini) kemudian bermigrasi ke arah selatan mencari tempat yang lebih tinggi sehingga terpisah dengan wanua Sawangan (walaupun masih terikat tali persaudaraan akibat kawin-mawin).  Tempat tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Tanggari.

Komunitas ini sangat akrab dengan komunitas di daerah sekitarnya, bahkan sering terjadi kawin mawin antar wanua bahkan ketika terjadi pembagian wilayah Tonsea dan wilayah Walantakan (Tonsealama) menjadi daerah tersendiri, Kepala Walak Tonsea yang berasal dari wilayah Walantakan Pongoh Saidi yang mempunyai 5 orang putri, salah satunya kawin dengan pemimpin dari wanua Sawangan saat itu yaitu Tangka Warouw.

Sedikit disinggung soal kepala Walak Tonsea Pongoh Saidi, anak sulungnya yang bernama Somporiwun kawin dengan pemimpin wanua Tanggari bernama Makariour Pelealu, anak kedua bernama Nensunan kawin dengan pemimpin wanua Sawangan Tangka Warouw, anak ketiga yang bernama Tolang kawin dengan pemimpin wanua Kumelembuai bernama Wagiu, anak keempat bernama Matiti kawin dengan pemimpin wanua Matelungtung (Tumaluntung saat ini) bernama Rotty, anak kelima bernama Dumpo yang kawin dengan pemimpin wanua Rorundu (Kaasar saat ini) yang bernama Karundeng.

Di akhir hayatnya, Pongoh Saidi, dimakamkan di tempat tinggal anak keduanya yaitu Nensunan di wanua Sawangan (Daftar nama dari Waruga Sawangan)

Menurut penuturan Graafland,  Sawangan adalah ibu negeri dari penyembahan berhala di daerah ini.

Agama suku yang ada di wanua Sawangan ada berbagai cerita dan ritus, berbagai foso dan mereka mempunyai pemimpin yang disebut Walian.

Dikuburan terdapat berbagai figura yang diukir pada Waruga.

Terdapat banyak patung dan kebanyakan berbentuk binatang.

Disana terdapat makhluk yang mengerikan berkepala empat yang melambangkan tabiat yang acuh tak acuh, pemandang enteng, percaya pada mistik dan dosa. (Band. Graafland, 1987:48-495).

Roderick C. Wahr menulis bahwa Sarkofagus yang bernama Waruga ada pada tahun 900 Masehi, yang kemungkinan dibuat pada saat Tu’udan/ Walian Runtuwarouw pertama kali membentuk komunitas di wanua Tumpaan/Sawangan saat itu (Sejarah Waruga Sawangan dan legenda Wanua Sawangan).

Dari catatan sejarah bahwa sekitar tahun 1200 pedagang muslim dari Gujarat dan Persia mulai mengunjungi Indonesia dan membina hubungan perdagangan dengan wilayah di Indonesia dan India sambil menyebarkan agama Islam terutama disepanjang pantai Jawa dan Demak (Roderick C.Wahr, Sejarah Garis Waktu)

Kemudian pada tahun 1292 – 1293 Kaisar Cina memberangkatkan banyak ekspedisi barang rongsokan ke Malaka, Jawa dan Maluku.  Ekspedisi ini dimaksudkan untuk berdagang dengan menggunakan kapal layar yang membawa porselen dan keramik ke Minahasa.  Mereka membawa keramik-keramik tersebut untuk ditukarkan dengan beras.

Hubungan dagang ini kelihatannya sudah terjalin dengan penduduk wanua Sawangan saat itu, bahkan beberapa dari pedagang Cina yang meninggal, bahkan dimakamkan bersama barang dagangannya di Sarkofagus dengan nama Waruga di Wanua ini ( beberapa catatan tentang sejarah Waruga ).

Karena cara pemakaman ini mulai dikenal ke berbagai pelosok Minahasa, sehingga mulai tahun 1335, hampir seluruh pemimpin penting dari suku Minahasa, dimakamkan di Sarcophagi, nisan yang berdiri, yang dinamakan Waruga.

Dalam bukunya Harry Kawilarang yang berjudul “Bermulanya Minahasa Dikenal di Peta Dunia” menjelaskan bahwa pengenalan tanah Minahasa oleh bangsa-bangsa Barat diawali dengan kedatangan musafir dari Spanyol pada 1532.

Bermula sejak bandar Malaka didatangi kapal-kapal Portugis pimpinan D’Abulquergue pada 1511 membuka jalur laut menuju kepulauan Maluku.  Jalur ini baru kemudian dimapankan pada 1521.  Sebelumnya, kapal-kapal  Spanyol pimpinan Ferdinand Magelhaens merintis pelayaran dalam usaha tujuan serupa yang dilakukan Portugis.  Bedanya, jalur ini dilakukan dari ujung benua Amerika Selatan melintasi Samudera Pasifik dan mendarat di kepulauan Sangir Talaud di laut Sulawesi.

Sebelum menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan pulau Manado-Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar.

Dari pulau-pulau tersebut kapal-kapal Spanyol memasuki daratan Sulawesi Utara melalui sungai Tondano (Harry Kawilarang, BermulanyaMinahasa dikenal di Peta Dunia, 1990).

Hal tersebut berkaitan erat dengan cerita rakyat semasa kepemimpinan dotu Ruruwawa yang menguasai air tawar, beliau menyusuri sungai Tondano, tiba di Pantai Manado, bertemu dengan tujuh kapal layar. Walaupun sempat terjadi selisih paham namun akhirnya mereka diundang datang ke wanua Sawangan, karena satu-satunya tempat/wanua yang tepat berada di tepi kali Tondano hanyalah wanua Sawangan .

Bahkan pada masa kepemimpinan Ruruwawa, komunitas ini telah mengenal kertas, dibuktikan dengan ditemukannya sehelai kertas oleh pendeta P.H.Linemann pada tahun 1861 di Sawangan Tonsea (Jessy Wenas, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa,2007, p.114-115), bahkan gambar upacara Mengelep (melep)  diatas papan ukir berukuran 14 x 5.5cm yang usianya diperkirakan sebelum masuknya bangsa Barat di Minahasa.

Oleh bangsa Spanyol, dotu-dotu kemudian dihadiahkan Pahat atau Senoto yang terbuat dari besi baja yang kuat yang digunakan untuk pengukiran petutup waruga.

Keahlian berkomunikasi kelompok masyarakat wanua Sawangan saat itu sempat ditulis oleh Graafland dalam penelitiannya tentang Minahasa : “…. Yang perlu dicatat juga bahwa diantara orang Tonsea ada yang ahli dalam seni,…… mereka juga terdidik sebab itu bertemu dengan orang Eropa dengan tenang saja, namun sering beralih menjadi tidak sopan tanpa malu-malu, juga suka berbohong ……” (Baca: Sejarah Gereja GMIM Imanuel Sawangan, 2004).

Sebagian dari penjelasan diatas kiranya boleh menjadi bukti sejarah bahwa walaupun komunitas ini sudah ada sejak tahun 900-an, namun adanya wanua Sawangan yang tetap menempati wilayah ini, dimulai pada tahun 1211, karena pada tahun ini Tu’udan atau Walian keturunan Dotu Runtuwarouw masih memerintah, kemudian disusul oleh dotu-dotu lainnya berabad-abad kemudian.

DAFTAR TU’UDAN/WALIAN – HUKUM TUA WANUA SAWANGAN

Tahun  1211 sampai 1355 dipimpin oleh       Dotu Runtuwarouw ….

Tahun  1355 sampai 1405 dipimpin oleh       Dotu Tangkawarouw

Tahun  1525 sampai 1550 dipimpin oleh       Dotu Ruruwawa

Tahun  1550 sampai 1560 dipimpin oleh       Dotu Rorimpandey

Tahun  1560 sampai 1580 dipimpin oleh       Dotu Kalalo

Tahun  1580 sampai 1595 dipimpin oleh       Dotu Manampiring

Tahun  1595 sampai 1611 dipimpin oleh       Dotu Wangke

Tahun  1611 sampai 1625 dipimpin oleh       Dotu Mantiri

Tahun  1625 sampai 1633 dipimpin oleh       Dotu Oley

Tahun  1633 sampai 1653 dipimpin oleh       Dotu Runtukahu

Tahun  1653 sampai 1671 dipimpin oleh       Dotu Maramis

Tahun  1671 sampai 1686 dipimpin oleh       Dotu Kaseger

Tahun  1686 sampai 1708 dipimpin oleh       Dotu Rorintudus

Tahun  1708 sampai 1716 dipimpin oleh       Dotu Mamarimbang

Tahun  1716 sampai 1726 dipimpin oleh       Dotu Mangdong

Tahun  1726 sampai 1747 dipimpin oleh       Dotu Soloy Kaunang

Tahun  1747 sampai 1759 dipimpin oleh       Dotu Karamoy

Tahun  1759 sampai 1778 dipimpin oleh       Dotu Pangemanan

Tahun  1778 sampai 1782 dipimpin oleh       Dotu Peterus

Tahun  1782 sampai 1796 dipimpin oleh       Dotu Kalao Luntungan

Tahun  1796 sampai 1816 dipimpin oleh       Kaidupan Mantiri

Tahun  1816 sampai 1841 dipimpin oleh       Datuk Karamoy

Tahun  1841 sampai 1868 dipimpin oleh       Elisa Wangke

Tahun  1868 sampai 1889 dipimpin oleh       Christian Korompis

Tahun  1889 sampai 1899 dipimpin oleh       Arkelaus Kaseger

Tahun  1899 sampai 1901 dipimpin oleh       Wellem Bolung

Tahun  1901 sampai 1912 dipimpin oleh       Yan Mantiri

Tahun  1912 sampai 1937 dipimpin oleh       Theodorus Wangke (*)

Tahun  1937 sampai 1940 dipimpin oleh       Yusop Montung

Tahun  1940 sampai 1942 dipimpin oleh       Timotius Wangke

Tahun  1942 sampai 1943 dipimpin oleh       Hanock Kaseger

Tahun  1943 sampai 1945 dipimpin oleh       Yusop Montung

Tahun  1945 sampai 1947 dipimpin oleh       Daniel Ticoalu

Tahun  1947 sampai 1962 dipimpin oleh       Yacob Mantiri

Tahun  1962 sampai 1964 dipimpin oleh       Paul Runtukahu

Tahun  1964 sampai 1970 dipimpin oleh       Yan G. Kalalo

Tahun  1970 sampai 1974 dipimpin oleh       Palenewen Mantiri

Tahun  1974 sampai 1977 dipimpin oleh       Anthon Polie Oley

Tahun  1977 sampai 1981 dipimpin oleh       Anthon Maramis

Tahun  1981 sampai 1986 dipimpin oleh       Soleman Bolang

Tahun  1986 sampai 1986 dipimpin oleh       W. Montung (PJS)

Tahun  1986 sampai 1986 dipimpin oleh       Soleman Bolang

Tahun  1986 sampai 1988 dipimpin oleh       Meity Tulong

Tahun  1988 sampai 1996 dipimpin oleh       Elias B. Mantiri

Tahun  1996 sampai 2004 dipimpin oleh       Marlien Humbas

Tahun  2004 sampai 2009 dipimpin oleh       Marthen ML Oley, SE

Tahun  2009 sampai ——  dipimpin oleh       Djemmy R. Maramis

Catatan :

Tulisan ini di presentasikan dalam seminar di ruang Rapat Kantor Bupati Minahasa Utara, Rabu 9 November 2011 dalam rangkaian kegiatan “Festival Waruga” 8-16 November 2011 yang salah satu agendanya adalah seminar sejarah HUT Wanua Sawangan-Airmadidi-Minahasa Utara.

Berikut, adalah tulisan/catatan dari Ivan R.B.Kaunang, pemakalah adalah dosen di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unsrat.  Magister S2 Sejarah Ilmu Humaniora UGM Yogyakarta 1997-1999, dan Doktor (S3) Kajian Budaya (Cultural Studies) Univ. Udayana-Denpasar Bali 2007-2010.

Dipublikasi di Uncategorized | 4 Komentar

PNPM Mandiri Pariwisata menunjang kegiatan Pariwisata di desa Sawangan.

Pnpm pariwisata

Judul tulisan diatas terbukti dengan dikeluarkannya KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGEMBANGAN DESTINASI PARIWISATA No. : 07/KEP/D.PDP/IV/2011 tentangPENAMBAHAN LAMPIRAN SK NO. 10/KEP/DPDP/III/2011 TANGGAL 8 MARET 2011 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA TIM FASILITATOR PADA KEGIATAN PENINGKATAN PNPM MANDIRI BIDANG PARIWISATA, yang menunjuk 2 desa di Minut sebagai desa Wisata yaitu Wori dan Sawangan serta menunjuk Fasilitator untuk desa Sawangan, sdr. Franky Sondey.

Karena dirasa perlu untuk membantu masyarakat yang ada disekitar lokasi wisata, oleh Kementerian Pariwisata c/q  destinasi Pariwisata, melalui LKM yang ada, dibentuk 2 kelompok penerima manfaat yang akan menerima bantuan sebesar Rp 70.000.000,- yaitu Kelompok Cinderamata dan kelompok Kuliner&Kesenian, masing-masing menerima Rp 42.500.000 dan Rp 27.500.000,- diberikan secara tunai sesuai dengan RUK yang diajukan sebelumnya.  Dana ini tidak dikembalikan dan tidak digunakan untuk pembangunan phisik melainkan khusus untuk menunjang usaha masyarakat/kelompok yang bergerak di bidang pariwisata.  Kegiatan ini berlaku selama 6 bulan sebelum diadakan peninjauan/pembaruan.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Sejarah Jemaat GMIM “Immanuel” Sawangan

GMIM IMANUEL SAWANGANMENELUSURI SEJARAH JEMAAT IMMANUEL SAWANGAN

Oleh : Pnt. Franky D. Sondey

(disadur dari tulisan  Pdt.David M. Lintong, STh.)

Pendahuluan.

Sejarah jemaat Immanuel Sawangan tidak dapat dilepaskan dari sejarah gereja di Minahasa khususnya sejarah Gereja Masehi Injili di Minahasa yang mana jemaat ini termasuk di dalamnya.

Jemaat di Sawangan lahir dan bertumbuh disuatu tempat pada suatu waktu tertentu dengan mempertemukan  dengan adat kebiasaan masyarakat juga agama kepercayaan ditempat itu.

Oleh sebab itu, sebelum berbicara tentang sejarah jemaat, dikemukakan tentang kehidupan masyarakat sebelum injil tiba di Sawangan.   Itulah yang kita temui dalam Bab pertama.

Kemudian dalam Bab dua digambarkan secara singkat penginjilan di Minahasa dimulai dengan misi Katolik, zaman VOC (Verenigde Oost Indishe Company), penginjilan oleh NZG (Nederlandse Zendeling Genoostschap) sampai diserahkan kepada Gereja Protestan Indonesia.

Dalam Bab Tiga ditelusuri bagaimana Injil tiba di Sawangan sampai menjadi salah satu jemaat dalam lingkungan Gereja Masehi Injili Minahasa yang berdiri sendiri tahun 1934.  Dalam Bab Empat dikemukakan secara singkat GMIM yang berdiri sampai tahun 1943.  Perkembangan jemaat Sawangan sejak tahun 1934 sampai sekarang yang dibahas dari :

  1. Para pemimpin jemaat dan kepelayanan
  2. Kegiatan, pergumulan, tantangan yang dihadapi jemaat
  3. Kehadirannya ditengah masyarakat
  4. Hubungan dengan pemerintah dan golongan lain dan dalam agama lain termasuk  didalamnya kerukunan antar umat beragama
  5. Kegiatan diakonia baik karitatif, diakonia sosial dan penatalayanan
  6. Dll.

Itulah yang akan dikemukakan dalam Bab Lima.

Tentulah pembaca dapat mengemukakan bagaimana pandangan kedepan sesudah mengkaji kenyataan historis yang dihadapi jemaat selama ini.  Pandangan kedepan bertolak dari ungkapan :”Pengalaman adalah guru yang baik”, sehingga usaha bukan saja mengenang masa lalu melainkan melangkah kedepan secara kreatif, inovatif dan bertanggungjawab.

BAB SATU

Kehidupan Masyarakat Sawangan Sebelum Injil Masuk

Pekerjaan penduduk sama seperti dinegeri-negeri lainnya di Tonsea yaitu bertani dengan kebun padi serta jagung yang luas.  Hasilnya dijual ke Kema dan Manado.  Tanaman kelapa cukup luas karena berada di dataran  rendah.  Di Tonsea-lama  banyak ditanam kentang sedangkan di Lilang, Kaasar dan tempat lainnya ditanam bawang merah, karena air yang cukup banyak sehingga banyak juga yang membuat kolam ikan.

Sifat dan kelakuan mereka dapat digambarkan seperti berikut:

Raut muka  tidak memiliki sesuatu yang bersifat gagah, mereka (Tonsea) sudah merupakan suatu keturunan yang mundur, suatu ras yang umumnya sudah terkuras tenaganya, bukan karena pekerjaan yang berat melainkan karena adanya perkawinan usia muda.  Masih kekanak-kanakan, belum dewasa sudah kawin, kemudian cerai dan kedua pihak hidup berzinah, dengan demikian melahirkan keturunan yang lebih lemah.  Adakalanya terdapat tahun-tahun lebih banyak kematian daripada kelahiran.

Orang biasa memaki dengan kata-kata kotor yang punya arti yang negatif.  Disebut juga munafik, sifat yang mengerlipkan mata serta nada tertawa yang nyaring terbuka serta bersifat gasang.

Bersifat suka mencela dalam arti yang negatif sekali.  Orang tua atau muda yang berkumpul selalu memperhatikan pejalan kaki dengan memperhatikan :  caranya berjalan, sikapnya, raut mukanya, pakaiannya dan muncullah ejekan, cacat badaniah dijuluki dengan istilah tertentu seperti kepala serong, mata sebelahnya tidak melihat lagi dikatakan ya’yo si penera artinya sedang datang seorang yang dipanggang.  Atau ungkapan si rempot yang kumuh bagi seorang yang mempunyai tanda bekas luka.

Tiap hari mereka saling mencela.  Seorang pemuda yang mau melamar seorang gadis bisa ditolak karena warna kulitnya lebih gelap.  Ada juga yang bersifat pandang enteng.

Yang perlu dicatat juga bahwa diantara orang Tonsea  ada yang ahli dalam seni.

Mereka juga terdidik sebab itu bertemu dengan orang Eropa dengan tenang saja, namun sering beralih menjadi tidak sopan tanpa malu-malu, juga suka berbohong juga berani mengadukan yang sifatnya pengaduan palsu.

Menurut penuturan Graafland, agama suku yang ada di Sawangan ada berbagai cerita dan ritus, berbagai foso dan mereka mempunyai pemimpin yang disebut Walian.

Sawangan adalah ibu negeri dari penyembahan berhala di daerah ini.

Dikuburan terdapat berbagai figura yang diukir pada waruga.

Terdapat bayak patung dan kebanyakan berbentuk binatang.  Disana terdapat makhluk yang mengerikan berkepala empat yang melambangkan tabiat yang acuh tak acuh, pemandang enteng, percaya pada mistik dan dosa. (Band. Graafland, 1987:48-495).

Mungkin yang ada didaerah ini (Minahasa) terutama animisme yaitu kepercayaan kepada jiwa-jiwa.

Hal itu bertolak dari kepercayaan bahwa manusia yang mati namun jiwanya tetap hidup.  Jiwa dari seseorang yang sangat disegani/ dihormati sewaktu hidupnya, dianggap sebagai jiwa yang dapat menjadi tempat menanyakan sesuatu.  Itulah yang dikenal dengan kata opo-opo. Selain itu dalam agama suku dikenal tentang apa yang disebut dinamisme, yaitu suatu kepercayaan tentang sesuatu yang mempunyai kekuatan gaib.  Pohon, batu dan tempat yang seram, juga ikat pinggang berisi berbagai jimat.  Kadang-kadang jimat itu dianggap punya kekuatan sehingga dapat membentengi seseorang yang mempergunakannya dan percaya akan kekuatan/keampuhan jimat itu.  Tiap daerah punya opo yang diunggulkan didaerahnya oleh pengikut animisme.  Begitu juga tiap daerah ada pusat atau benda/pohon dan sebagainya yang diandalkan sebagai tempat untuk mendapatkan kekuatan, ketangguhan dalam menangkis serangan atau melindungi diri dari sesuatu bahaya yang mengancam.

BAB III

Sejarah Ringkas Gereja di Minahasa

Sebelum Diserahkan Kepada Gereja Protestan Indonesia

Disuatu pihak yang merupakan ciri keadaan di Indonesia pada tahun 1500 ialah: pengislaman secara berangsur-angsur dengan segala akibatnya.

Tetapi pada pihak lain juga kita melihat kontak langsung dengan negara-negara Barat.

Bangsa Portugis mulai muncul, diikuti Spanyol.  Munculnya dua bangsa ini membawa perobahan besar baik dibidang politik, ekonomi, juga agama.

Modernisasi di Eropa sangat membantu cita-cita orang barat mencari jalan menemukan daerah-daerah baru terutama di Asia, termasuk Indonesia.  Dapat dikatakan bahwa pelopornya adalah bangsa Portugis dan Spanyol.

Sejak tahun 1350 Portugis sudah mencari  jalan laut ke Asia Timur.  Ada dua maksud yaitu mau berdagang rempah-rempah di Maluku dan meneruskan perang salib.  Dengan alasan-alasan itulah Portugis dan Spanyol tiba di Indonesia.

Mencegah terjadinya perebutan daerah, atas permintaan kedua kerajaan (Spanyol dan Portugis), maka dunia dibagi dua oleh Paus Alexander VI pada tahun 1494.  Suatu garis bujur sejauh 370 mil sebelah barat tanjung Verde membatasi pengaruh kedua belah pihak.  Sebelah barat milik Spanyol, timur milik Portugis.  Dengan demikian maka Indonesia  termasuk wilayah kekuasaan Portugis.  Tetapi sejak tahun 1590 Portugal masuk jajahan Spanyol sehingga Spanyol juga datang di Indonesia.

Dalam perjalanan bangsa Portugis yang dikirim gubernur Portugis dari Ternate pernah singgah di Minahasa.  Sebuah peta yang dibuat tahun 1512 dicatat di Minahasa sebagai pulau damar dan menghasilkan kayu cendana.

Kapal Portugis yang dikirim gubernur Portugis dari Ternate disertai Paderi Diogo de Magelhaes.  Ia mengKristenkan 1500 orang termasuk raja Manado pada tahun 1563.  Dengan kejadian ini dapat dikatakan gereja sudah mulai di Minahasa.  Pernyataan ini didasarkan pada pemilihan penentuan adanya gereja mulai di suatu tempat :

  1. Pada waktu penginjil tiba di tempat itu
  2. Pada waktu sudah ada orang Kristen datang menetap di daerah/tempat itu
  3. Pada waktu baptisan pertama
  4. Pada waktu adanya lembaga gereja dengan tata gerejanya.

Kalau begitu, gereja disini menrurut pernyataan ini, berarti pada waktu baptisan pertama.

Sesudah itu berturut-turut dikirim di Minahasa paderi Mascarenhas tahun 1568, Scialamonte dan Cosmos Pinto tahun 1619.

Tahun 1620 Pater Simi datang, Blas Palomio, tahun 1619 mengunjungi negeri-negeri di Minahasa antara lain Manado, Kali, Kakaskasen, Tomohon, Sarongsong, Tombariri, Tondano, Kema.  Sedangkan paderi Yuan Yeranzo masuk pedalaman Minahasa dan menetap di Tomohon dan Kali, kemudian ia diganti oleh paderi Lorenzo Garalla.  Pada tahun 1644, berakhirlah kegiatan misi Katolik di Minahasa akibat perang antara Spanyol dan Tombulu.  Spanyol terpaksa angkat kaki dari Minahasa pada tahun 1657.

Pada tahun 1602, di Belanda terbentuk suatu maskapai perkapalan dengan nama Verenigde Oost Indische Company (VOC).  Sesudah Portugis dan Spanyol keluar dari Minahasa maka VOC menguasai Minahasa.

Badan ini mempunyai satu-satunya hak kedaulatan dan kepadanya diharuskan pemeliharaan atas kepercayaan umum.  Ia harus melaksanakan artikel 36 pengakuan iman Belanda yang isinya, bahwa pemerintah bertugas memelihara gereja yang kudus untuk melawan serta memberantas segala agama palsu dan penyembahan berhala, untuk memusnahkan kerajaan anti Krist dan memajukan agama Kristus.  Juga dengan semboyan pada masa itu yang terkenal : CUIUS REGIO, UIUS RELIGIO yang berarti rakyat harus menganut agama pemerintahnya.  Dengan sendirinya pekabaran injil di Minahasa berada dalam tangan Protestan sebab VOC datang dengan membawa panji Protestan.

Kedatangan VOC di Minahasa disertai juga pendeta-pendeta.  Pada tahun 1663 ternyata bahwa sebagian besar Manado sudah Kristen.  Tahun 1674 di Manado sudah terdadat satu gerja, satu sekolah dengan 25 murid, dua guru, 499 orang Kristen serta kurang lebih 100 orang beragama animisme.

Ds Montanus mengunjungi Manado tahun 1675 melapor adanya segolongan orang Kristen.  Pada tahun 1677 ditempatkan seorang pendeta di Manado dan tahun 1707 dilaporkan terdapat 500 orang Kristen, sedangkan tahun 1771 didirikan jemaat Likupang.  Sejak tahun 1789 – 1817 jemaat-jemaat di Minahasa terbengkalai.  VOC mengalami kesulitan dan akhirnya bubar pada 31 desember 1799.  Pemerintahn di Minahasa diserahkan pada pemerintah Belanda.  Pelayanan terlantar.  Meskipun gereja tidak musnah sama sekali namun kemampuan untuk menjalankan tugas sebagai gereja belum terlibat.  Hal itu dilatarbelakangi oleh pekerjaan penginjilan waktu itu dengan metode penginjilan dengan menghafal pokok-pokok iman dengan sedikit penjelasan.  Baptisan dilakukan dengan persiapan yang kurang, dengan kata lain baptisan massal yang sering dilakukan.

Josef Kam yang dijuluki rasul Maluku mengunjungi Minahasa tahun 1817 kemudian Ds Lenting tahun 1819 dan Hellendorn yang disebut perintis penginjilan di Minahasa, datang di Minahasa pada tahun 1827.

Pekabar-pekabar injil ini melaporkan keadaan gereja di Minahasa kepada Nederlans Zendelling Genootschap (NZG), suatu badab pekabaran injil yang didirikan TH van der Kemp tahun 1797.  Pada bulan Juli 1827 para direktur NZG memperbincangkan suatu usul untuk mengutus pekabar  Injil ke Minahasa, sementara itu Gereja Protestan Indonesia menaruh perhatian juga di Minahasa.  Pada tahun 1822 dikirimlah Lammert Lamers dan Daniel Muller.  Lamers melayani daerah timur Manado sampai Kema sedangkan Muller melayani jemaat di Manado dan Tanahwangko, namun pekerjaan  mereka tidak berlangsung lama karena meninggal dunia.

Tahun 1829 NZG memutuskan Minahasa sebagai lapangan pekabaran Injil NZG disamping Ambon dan Timor.  Diputuskan mengutus Riedel dan Schwarz yang telah menyediakan diri ke Timor untuk pergi ke Minahasa.

Tanggal 12 Juni 1831, kedua utusan injil NZG itu tiba di Manado, dan tanggal tibanya kedua utusan itu yang kemudian ditetapkan sebagai hari Pekabaran Injil GMIM.

Johan Fredrik Riedel ke Tondano dan tiba disana 14 Oktober 1831 dan Johanis Gotlieb Schwarz ditempatkan di Kakas, kemudian pindah ke Langoan.

Berturut-turut tiba di Minahasa Pendeta K.T. Herman tahun 1836 di Amurang, Adam Matern tahun 1838 di Tomohon, E. Hartig di Kema dan Likupang tahun 1849, juga pada Juli 1849 Ulfers menerima tugas pelayanannya di Kumelembuai dari Pendeta K.T.Herman.  N.Graafland di Sonder tahun 1850, Wiersma di Ratahan tahun 1862 dan di Talawaan tahun 1864.  Dalam tempo 33 tahun (1831-1864) tempat-tempat strategis di Minahasa sudah diduduki.  Pada tanggal 18 Agustus 1867 sudah ada pelayanan baptisan di suatu desa terpencil di wilayah Sonder dan tanggal 15 Mei 1845 sudah ada baptisan pertama di suatu desa di Minahasa selatan yaitu Kumelembuai.

Mengapa pekabaran Injil di Minahasa begitu cepat sudah meluas ke seluruh pelosok daerah ini?

Th. Muller Kruger memberi alasan sebagai berikut:

–          Tanah Minahasa sudah dibuka lebih dulu oleh jemaat-jemaat VOC untuk menerima Injil

–          Keadaan geografi sangat menunjang karena rapatnya penduduk dan tidak ada kesulitan dalam hubungan lalu lintas

–          Kontak yang sudah lama ada dengan pemerintah Belanda yang sudah berabad-abad lamanya menarik anak-anak Minahasa masuk kedalam ketentaraan.

–          Kebijaksanaan para pekabar Injil yang menduduki seluruh Minahasa dengan menempatkan banyak tenaga sekaligus.

–          Sekolah-sekolah yang dibuka sangat menarik minat orang-orang Minahasa.

–          Injil bukan disajikan dalam bahasa Indonesia yang masih asing, tetapi pekabar-pekabar Injil mencurahkan segala tenaga untuk menyelidiki serta mempergunakan bahasa suku itu sendiri.

Selain alasan diatas dapat disebutkan metode pekabar-pekabar Injil di beberapa tempat dengan memperhatikan Tonaas atau pemimpin desa.  Perlu dicatat bahwa Pendeta K.T.Herman dari Amurang berhasil membaptis sesudah 10 tahun dengan rajin mengunjungi Kumelembuai pada waktu Hukum Tua Langkay menerima kedatangan Zendeling.  Kepala walak H.W.Dotulong yang memimpin pakasaan Sonder tahun 1824-1861 sangat besar pengaruhnya dalam pekerjaan penginjilan pendeta J.A.T Schwarz di daerah Sonder, sesudah peneguhannya selaku anggota sidi di sana.  Demikian juga pekabaran Injil di wilayah Tonsea sangat dipengaruhi dua tokoh terkemuka disana yaitu Rotinsulu dan Pelengkahu.

Di Tondano Riedel mengalami gerakan masuk Kristen sudah sejak tahun 1834 sedangkan Schwarz di Langoan menunggu 12 tahun lamanya, barulah terjadi perubahan besar.  Di Airmadidi nanti pada tahun 1857.  Dengan pekerjaan penginjilan yang intensif dan terus menerus, maka dalam statistik tahun 1880 di Minahasa terdapat 80.000 orang Kristen diantara 100.000 pendudukmya.

Pendeta Ulfers yang menerima pekerjaan pelayanan di Kumelembuai  dari pendeta Herman, membentuk resort Kumelembuai pada tahun 1855.  Resort Tomohon yang pada mulanya dikerjai Adam Matern  diganti pendeta Wilken dengan baptisan pertama 20 Januari 1839, kemudian tahun 1864 diganti pendeta Wilken sampai tahun 1877.  Sedangkan di Sonder yang dimulai oleh N. Graafland tahun 1850 diteruskan oleh Pdt. Johan Albert Schwarz selama 44 tahun (1861-1905).                Daerah penginjilan lain yang kemudian dibentuk resort adalah Ratahan, Amurang, Manado, Talawaan dan Airmadidi.  Dengan demikian diperlukan banyak tenaga, namun utusan Injil ini tidak pernah lebih dari 9 orang padahal penginjilan sudah mulai membuka sekolah.

Untuk mendapatkan guru-guru sekolah dan guru-guru jemaat maka utusan Injil mengusahakan apa yang lazim disebut ”murid stelsel” yakni pemuda-pemuda di didik di rumah Pendeta.  Ada juga yang melalui apa yang disebut ”anak piara” kemudian ditugaskan disuatu tempat untuk menjadi guru atau guru jemaat.  Melalui cara demikian pula diperoleh dua pendeta pertama orang asli Minahasa yakni Adrianus Angkow yang ditahbiskan tahun 1847 di Langoan dan Silvanus Item yang ditahbiskan tahun 1859 di Tondano.

Penginjilan di Minahasa berjalan bersama dengan usaha pendidikan dan persekolahan.  Sekolah guru dimulai oleh N. Graafland di Sonder tahun 1851.  Memang dalam kunjungan Josef Kam di Minahasa (1817-1818) sudah menemukan sekolah di Minahasa seperti di Manado, Tanawangko, Amurang, Kema dan Likupang.  Begitu juga G.J. Hellendorn yang dikenal sebagai perintis pekabaran Injil di Minahawsa yang datang disini mulai tahun 1827, membuka sekolah di Manado.  Ia melatih sendiri guru-guru di rumahnya.  Pasda tahun 1829 ia membina 5 pemuda Minahasa untuk menjadi guru-guru. Ia berpendapat bahwa anak-anak Minahasa harus diajar dan di didik oleh orang Minahasa itu sendiri.

Tahun 1832 oleg G.J. Hellendorn sudah ada 20 sekolah dan 700 murid dan delapan tahun kemudiansudah ada 56 sekolah dengan kira-kira 10.000 murid.

Tokoh yang perlu dicatat pula adalah Nicolas Graafland, yang lahir pada 2 Maret 1827, sesudah mendapat latihan di Rotterdam ia ditetapkan menjadi penginjil di Sonder, Minahasa.  Ia seorang guru yang qualified dan ia tiba di Jakarta pada tanggal 8 November 1848.  Pada 16 Maret 1851 ia tiba di Sonder dan mulai mengadakan muris stelsel dan pada tahun itu juga Graafland membuka sekolah guru, meskipun hanya dimulai dengan 4 orang murid.  Pada tahun 1854 sesudah ia libur, bertugas di Tanawangko, sekolah guru itu dipindahkannya kesana.

Di Tanawangko,  pada tahun 1862 Graafland juga mempersiapkan buletin yang dikenal dengan nama Cahaya Siang yang terbit mulai 1868.  Maksud buletin ini untuk memberikan dan menuntun rakyat Minahasa dalam pembangunan hidup masyarakat, menciptakan masyarakat yang berpikir  sambil belajar.   Kira-kira 30 tahun Graafland di Tanawangko dengan sekolah guru, dan memulai buletin terkenal itu.  Sekolah guru di tanawangko kemudian pindah di Kuranga Tomohon pada 1884.

Kursus-kursus yang mendidik para penginjil didirikan tahun 1867, kemudian kursus itu ditetapkan menjadi School tot opleiding voor Indische Leraar (STOVIL) tahun 1886.

Pada periode ini pekabaran Injil di Minahasa semata-mata usaha badan pekabaran Injil NZG.  Para pekabar Injil lebih mementingkan hidup rohani sehingga kurang mempersiapkan gereja di Minahasa secara menyeluruh dan utuh, meskipun harus dicatat bahwa Schwarz di Sonder memotori masyarakat di bidang kesehatan dengan membentuk ”kerapatan”.  Kerapatan itulah yang menghimpun dan membina potensi di jemaat-jemaat dan akhirnya lahir R.S.Sonder.  Pendidikan diteruskan dan soal ekonomi organisasi gereja tidak diperhatikan; pembentukan majelis jemaat juga tidak mendapat perhatian.  Pengaruh pietisme pada umumnya berlaku  Meskipun kita mencatat ada  juga pendekatan-pendekatan penginjilan melalui usaha diakonia, pendidikan, kesehatan dan keterampilan.

Ada juga tindakan-tindakan setempat dari segi organisasi seperti Schwarz melantik Majelis Jemaat pada tahun 1850.  Ulfers di Kumelembuai memilih Majelis Jemaat pada 1854 dan J.A.T Schwarz mengumpulkan 13 Majelis Jemaat dalam suatu Clasis di Sonder.  Tindakan-tindakan ini tidak menyeluruh sehingga tujuan adanya satu gereja di Minahasa belum disadari.  Memang tidak ada petunjuk dari NZG, lagi pula para pekabar Injil kurang berkonsultasi mengenai masalah-masalah yang mereka hadapi bersama.  Dapat dikatakan bahwa penginjilan di Minahasa tidak mempersiapkan warganya kepada suatu gereja yang bertanggungjawab.  Pekerjaan NZG selama 40 tahun sangat membawa hasil sebab 4/5 penduduk Minahasa di Kristenkan, walaupun belum telihat suatu dasar kokoh  untuk membentuk dan membangun satu gereja.  Orang-orang Kristen di Minahasa tidak sepenuhnya disadarkan untuk melihat gerejanya menjadi tanggungjawabnya sendiri.

Pelayanan dan pembiayaan gereja belum disadari sebagai tanggungjawab sendiri tapi semua kebutuhan untuk pelayan dan pelayanan ditanggung oleh pekabar-pekabar Injil sendiri.  Meskipun di zaman NZG, Minahasa pernah dijuluki mahkota pekabaran Injil, namun pernah juga disebut suatu kesulitan karena pda akhirnya harus diserahkan kepada instansi lain sebab NZG harus melepaskan  sebelum mampu mengatur dan membiayai dirinya sendiri . (Lintong, D.M, 1995:5-10).

BAB III

Injil Tiba di Sawangan dan Perkembangannya Sampai Menjadi Salah Satu Jemaat GMIM tahun 1924

  1. Pada waktu pendeta Wiltenaar tahun 1771 mengunjungi Minahasa, mendapati Jemaat baru di Likupang dengan 206 anggota, 101 orang dewasa dan 105 anak kecil (Abinemo 1978:99).

Pendeta Zending Lammers tahun 1822 ditempatkan di Kema tetapi karena sakit, tidak banyuak yang dikerjakannya dan meninggal 2 tahun kemudian.  Pendeta J.G.Hallendoren dari Manado mengunjungi Kema dan sesudah ia meninggal, pekerjaan disana dilanjutkan secara bergilir oleh Schwarz, Herman dan Wilkem.  Pendeta Hartig dari Kupang dipindahkan ke Kema mendapati jemaat sudah mundur karena pelayanan yang tidak teratur.  Jemaat Mapanget, Kaasar dan Treman lebih baik.  Pada tahun 1850, ia meninggal dan diganti oleh Lineman dan dimabntu oleh seorang tenaga pribumi Hehanusa.  Dibawah kepemimpinan Hehanusa terjadi suatu ’Gerakan Kebangunan’ yang mencakupi hampir seluruh desa di Minahasa Utara.

Bukan saja rakyat biasa, bahkan imam-imam agama suku minta dibaptis dan menjadi anggota jemaat.

  1. Graafland mencatat bahwa : Kepala sesuatu negeri yang saya kira ia sendiri seorang walian telah menetapkan akan beralih agama beserta seluruh bawahannya.  Pada hari-hari yang sama maka pendeta Lineman beserta pembantu penginjil telah mengadakan pembicaraan dengan para walian dari negeri Sawangan.

”Mereka itu tersudut sebab mereka tidak dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan mengenai penyembahan tuhan yang palsu serta berbagai perbuatan yang menyesatkan.  Mereka meminta waktu untuk berpikir lalu kemudian secara bersama-sama, dan melihat arus dorongan dari  rakyat yang ingin memeluk agama Kristen lalu menetapkan sebagai yang pertama  untuk beralih memeluk agama” (Graafland, 1987 : 492).

Memperhatikan data ini berarti peristiwa ini berlaku sesudah tahun 1850.

Sebelum itu memang sudah ada orang yang mendorong mereka meninggalkan kebohongan itu.  Sebab sudah sejak lama ajaran kebenaran dikhotbahkan oleh seorang murid pendeta Ridel.  Dikatakan bahwa sebelumnya merekatelah belajar berdoa, sudah mengenal kedua belas pasal pengakuan iman dan sepuluh hukum melalui anak-anak sekolah. (Band. Graafland, 1987:493).

  1. Johan Fredrik Riedel tiba di Tondano, 14 Oktober 1831.  Apakah Riedel segera mendapatkan murid dan yang dapat diutusnya ke Sawangan.  Tanggal 16 November 1831 untuk pertama kali memimpin ibadah di Tondano.  Disana ia mendapat 200 anggota baptis dan seorang guru dari Ambon  dan 50 murid sekolah Gubernemen.

Informasi ini juga didapat dari tulisan Runia tentang Latar Belakang Pekabaran Injil oleh Riedel di Tondano yang dikutip pendeta Heibert Paath dalam sejarah seorang guru yang sudah ada di Tondano seyogianya ialah murid Riedel yang datang di Sawangan sekitar tahun 1831.

  1. Dari catatan sejarah oleh Panitia yang bersumber dari Hans Tontey, 14 Desember 2000 mengatakan bahwa Jemaat Sawangan sudah terbentuk tahun 1831.  Gedung gereja berlokasi di SD Negeri Sawangan saat ini.  Pada tahun 1865 gedung gereja dipindahkan ke lokasi saat ini, atas sumbangan tanah dari keluarga Kalensun serta hasil musyawarah tua-tua.

Awal berdirinya gereja pada tahun 1865 ini, tercatat selain kel. Kalensun yang menyumbangkan tanahnya, juga Kel. Oley-Palenewen yang menyumbang jam dan lonceng gereja.

Pendeta G.J.Hellendorn yang dikenal sebagai Perintis Pekabaran Injil di Minahasa, tiba di Manado pada 7 Januari 1827, namun tidak ada data bahwa ia pernah datang di Sawangan.  Dia memang pernah ke pos penginjilan di Kema.  Karena ia mendidik orang menjadi guru sehingga dapat dikatakan kerjanya dirasakan lewat guru yang datang memimpin jemaat Sawangan.  Guru/ guru jemaat Fredrik Walanda yang disebut dari Tanggari datang ke Sawangan (1826-1904) pernah melayani jemaat Sawangan.

Sesudah mencatat data-data tersebut diatas, kita melihat bahwa sesudah tahun 1850 ada pembaptisan massal (12 Agustus 1857) di Airmadidi sebanyak 300 orang termasuk dari Sawangan.

Saat renovasi gedung gereja  GMIM Imanuel Sawangan, pernah ditemukan sebatang besi yang bertuliskan tahun berdirinya gereja di Sawangan yaitu tahun 1831.

  1. Pembaptisan terhadap walian/kepala negeri dengan pembantu-pembantunya berlaku sesudah tahun 1950 berarti bukan baptisan pertama.  Sekitar tahun 1831 kunjungan seorang murid Riedel dari Tomdano dan selanjutnya data tentang adanya sebatang besi yang bertuliskan berdirinya jemaat tahun 1831, berarti sebelumnya sudah pernah ada kunjungan dari Fredrik Walanda dan pada tahun tersebut jemaat Sawangan sudah berdiri, walaupun tanggal dan bulan yang tepat masih perlu ditelusuri lagi.
  2. Perkembangan Jemaat sejak tahun 1831 sampai tahun 1934.

Pada mulanya jemaat Sawangan yang berdiri tahun 1831 bergereja di lokasi SD Negeri Sawangan saat ini.  Pemimpinnya mungkin masih dalam tangan guru/ guru jemaat Fredrik Walanda dari Tanggari.  Nanti pada tahun 1858-1889 yang bertugas sebagai pemimpin jemaat adalah Penatua Saul Sibih.

Gedung gereja yang didirikan di tanah milik kel. Kalensun tahun 1879 yang prasastinya ada di dinding gedung gereja sekarang, namun  sejak tahun 1865 tempat ini telah ditempati oleh bangunan gereja dan 14 tahun kemudian baru resmi diserahkan oleh kel. tersebut.

Hal ini juga sesuai dengan informasi dari mantan ketua jemaat Hans Tontey pada tanggal 14 desember 2000.  Pemimpin jemaat/ ketua jemaat yang sudah tercatat yaitu Ismael Palenewen sebagai ketua jemaat pertama yang masa kerjanya belum diketahui.  Gedung gereja ini dahulunya dikenal sebagai ”Gereja Ayam” yang menurut informasi dari ibu Lusi Maramis putri ketiga dari Penolong Frets Maramis, gereja ayam tyersebut dicat dengan warna abu-abu, walaupun arti dan makna dari warna tersebut tidak disebutkan.  Kemudian, gereja ini diberi nama ”God Zy Met Ons yang berarti Allah Beserta Kita (Informasi didapat dari bapak Johny Mingkid dan Jance Mantiri).  Nanti pada tahun 1935, nama gereja dirubah sesuai perubahan dari sinode dengan nama ”Immanuel” Sawangan.  Dan lewat berbagai upaya melalui seminar-seminar yang dilaksanakan di GMIM Immanuel Sawangan, maka disepakati bersama dan diputuskan bahwa jemaat Sawangan berdiri pada tanggal 17 November 1831 oleh BPMJ dan Panitia HUT Jemaat 2000 – 2005.

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar

SEJARAH WARUGA SAWANGAN

oleh : Franky Sondey, disadur dari beberapa tulisan.

PEMBUATAN WARUGA

Berdasarkan perintah dan ide dari Dotu Runtuwarouw karena wilayah desa Sawangan bertambah menuju ke Utara, ditemukan lagi daerah yang dirasa cocok untuk pembuatan Waruga, maka tempat ketiga yang dirasa cocok untuk pengambilan bahan tersebut yaitu di wilayah Tataan. Bukit ‘batu’ (domato) atau bahasa ilmiahnya, Sarkofagus, di Tataan ada dua, yang satu yang tinggi disebut orang sebagai bukit yang laki-laki, sedangkan yang agak pendek disebut orang sebagai bukit perempuan. Sama seperti yang terjadi dalam pembuatan waruga sebelumnya (Baca: Sejarah desa Sawangan) di Sosolongen- Saduan dan di Karepot, pembuatan Waruga disinipun selalu menemui hambatan-hambatan dikarenakan peralatan yang digunakan masih sangat sederhana. Dimasa kepemimpinan dotu Runtuwarouw, beliau dibantu oleh dua dotu, yang pertama bernama dotu Rorimpandey yang bertugas sebagai Tona’as (dukun) untuk mengobati orang-orang sakit, dan kedua, Dotu Ruruwawa yang menguasai air tawar dan air laut. Dalam suatu perjalanan dotu Ruruwawa bersama beberapa anak buahnya yang menyusuri sungai Tondano, saat tiba ditepi laut mereka melihat tujuh perahu layar (Perahu layar milik bangsa Spanyol). Komunikasi diantara Rombongan dotu Ruruwawa dan ABK dari perahu layar Spanyol terhambat karena hanya menggunakan bahasa isyarat, sehingga terjadi salah pengertian antara mereka, sehingga ke tujuh perahu layar tersebut tidak diizinkan untuk mendarat. Dan akhirnya, atas kesepakatan bersama, mereka berdamai, dan dalam perkunjungan orang-orang Spanyol ke desa Sawangan tersebut mereka sempat membantu penduduk setempat dengan meninggalkan beberapa peralatan seperti Pahat dan Senoto yang terbuat dari besi baja kuat yang dipakai oleh penduduk setempat dalam pembuatan Waruga yang sampai saat ini terlihat sebagai Waruga yang mempunyai ukiran berupa lambang-lambang dan patung. Waruga adalah merupakan wadah kubur yang digunakan oleh masyarakat Sawangan sebagai tempat penguburan mayat dari anggota keluarga yang meninggal pada zaman dahulu kala. Menurut informasi waruga Sawangan ini semula tersebar di kebun maupun rumah-rumah penduduk desa, namun kemudian dikumpulkan pada satu lokasi di tempat yang  sekarang ini. Walaupun begitu sampai tahun 1976 waruga di Situs Sawangan ini masih dalam keadaan yang tidak teratur seperti sekarang ini dan tidak memiliki pagar keliling. Kemudian pada tahun 1977 kompleks waruga ini mengalami pemugaran oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Ujung Pandang bersama dengan Bidang Muskala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara. Setelah pemugaran itu maka waruga di Situs Sawangan ini menjadi teratur rapi dan memiliki jalan setapak di dalam kompleks waruga serta diberi pagar keliling dari kawat berduri. Pada tahun 2006 dibuatkan pagar tembok batako mengelilingi kompleks oleh Kantor Dinas Pariwisata Provinsi. Sebelum memasuki kompleks waruga terlebih dahulu harus dilalui kompleks pekuburan umum. Pekuburan umum ini sebenarnya juga merupakan pekuburan yang cukup tua, dibuktikan dengan adanya kubur-kubur yang berasal dari tahun seribu delapan ratusan. Namun oleh masyarakat desa ini pekuburan tersebut masih digunakan sampai sekarang. Yang menarik pekuburan ini tidak hanya menjadi kuburan umat Kristiani, tetapi juga menjadi kuburan umat lain selain Kristiani. Pada waktu pemugaran di dalam waruga banyak ditemukan  benda-benda sebagai isinya, yaitu berupa piring-piring keramik, manik, tulang-tulang manusia dan benda-benda logam serta gelang-gelang perunggu. Luas lahan yang berisi konsentrasi waruga berukuran 60 x 137 meter, dengan luas zona penyangga 10 x 137 meter. Jadi luas situs secara keseluruhan adalah 274 x 70 meter termasuk lahan kosong di belakang kompleks waruga dan jalan masuk ke kompleks waruga. Di luar zona inti dan zona penyangga ada lahan seluas 40 x 40 meter yang berisi rumah adat minahasa sebagai museum, aula, tempat parkir, 4 wc dan taman. Situs ini berada di belakang perumahan  dan lahan penduduk. Pada lahan penduduk terdapat berbagai tanaman pohon dengan jenis tanaman yang berupa pohon mangga, durian, manggis, langsat, cengkih dan lain-lain. Penduduk desa ini cukup padat, karena hampir semua lahan di sekitar kompleks waruga ini masih ada yang kosong yang dapat dipakai untuk zona penyangga dan pengembangan. Ditinjau dari jumlah yang cukup banyak dan bentuk-bentuk maupun hiasan waruga yang indah, diperkirakan jumlah penduduk di lokasi ini pada masa yang lalu juga memang cukup banyak dan juga memiliki ekonomi yang cukup baik. Kemungkinan Desa Sawangan pada masa lalu merupakan desa yang cukup besar dan ramai, dengan masyarakat yang berpenghasilan cukup tinggi. Kehidupan masyarakat cukup makmur dengan lingkungan alam yang mendukung. Udara di daerah ini cukup sejuk dengan curah hujan yang cukup tinggi, serta persediaan air sangat banyak. Tanahnya subur, sehingga berbagai macam tanaman produktif dapat tumbuh di tempat ini. Waruga-waruga pada situs ini terbuat dari bahan batuan tufa, sehingga cukup kuat dan tahan lama. Bahan untuk membuat waruga sudah tersedia atau disediakan oleh alam, yang banyak terdapat di daerah Minahasa Utara. Waruga di dalam situs itu berjumlah 144. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa “waruga” berasal dari dua kata, yaitu “waru” yang berarti “rumah” dan “ruga” yang berarti “badan”. Jadi, waruga dapat diartikan sebagai “rumah tempat badan yang akan kembali ke surga”. Konon, makam yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah khas orang Minahasa ini adalah salah satu warisan tradisi zaman megalitikum yang terus dipertahankan hingga kira-kira pertengahan abad ke-19.  Hal ini dapat dibuktikan dari pahatan angka tahun pada beberapa waruga seperti: 1769, 1839, 1850 dan lain sebagainya. Waruga dahulu digunakan sebagai sarana pemakaman keluarga yang ditaruh di pekarangan atau di kolong rumah. Namun, tidak semua orang Minahasa Utara memiliki waruga. Hanya orang-orang yang mempunyai status sosial yang cukup tinggi saja yang memilikinya.  Itu pun jumlahnya tidak terlalu banyak. Menurut catatan, di seluruh daerah Minahasa bagian utara, termasuk Kodya Manado, hanya terdapat sekitar 2.000 buah waruga yang tersebar di beberapa tempat seperti: Sawangan 142 buah, Airmadidi Bawah 155 buah, Kema 14 buah, Kaima 9 buah, Tanggari 14 buah, Woloan 19 buah, Tondano 40 buah dan lain sebagainya.  Pada awal abad ke-20, tradisi mengubur mayat dalam waruga ini berhenti karena muncul wabah penyakit (kolera dan tifus) yang diduga bersumber dari mayat yang membusuk dalam waruga. Di daerah Sawangan, atas instruksi Hukum Tua (kepala desa), waruga-waruga yang tersebar diseluruh desa dikumpulkan dan diletakkan di pinggir desa. Hal ini dilakukan agar warga desa tidak terjangkit wabah penyakit yang disebabkan oleh mayat yang membusuk tadi.  Waruga-waruga yang ada di daerah Minahasa ini mulai banyak menarik perhatian orang luar, terutama para peneliti, sejak C.T. Bertling menulis artikel De Minahasche Waruga en Hockernestattung yang dimuat dalam majalah Nederlansche Indis Oud en Niew (NION), No. XVI, tahun 1931. Setelah itu, C.I.J. Sluijk juga menulis artikel tentang waruga berjudul Tekeningen op Grafsten uit de Minahasa. Pada tahun 1976, Drs. Hadi Moeljono yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan, mengadakan penelitian tentang waruga di Kabupaten Minahasa. Dari hasi penelitiannya itu, pada tahun 1977 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan melakukan pemugaran terhadap kompleks waruga di Sawangan dan Airmadidi. Hasilnya, pada tahun 1978 kompleks makam itu menjadi suatu Taman Waruga. Oleh pemerintah taman waruga ini kemudian dijadikan sebagai benda cagar budaya dan sekaligus juga sebagai obyek wisata budaya yang unik dan menarik. Kompleks makam waruga Sawangan peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Dr. Daoed Joeseof pada tanggal 23 Oktober 1978. Kompleks Taman Waruga Sawangan. Taman Waruga dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: tempat pemakaman, museum, dan bangunan tambahan. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut. Tempat pemakaman yang berisi ratusan buah waruga berada di bagian belakang taman. Waruga-waruga yang ada di tempat ini bahannya terbuat dari batu dengan lebar rata-rata 1 meter dan tinggi 1-2 meter, terdiri atas dua bagian yang berfungsi sebagai wadah dan tutup. Bagian tutup waruga bentuknya menyerupai atap rumah yang menjulang tinggi. Di bagian tutup ini banyak dipahatkan berbagai macam hiasan berupa: manusia dalam berbagai posisi, binatang, benda alam, tumbuh-tumbuhan, matahari, tumpal, untaian permata, rumbai-rumbai, ragam hias geometris dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan tersebut merupakan gambaran situasi surgawi atau gambaran situasi saat orang yang ada di dalamnya mati. Misalnya, ada yang meninggal waktu melahirkan, digambarkan dalam posisi mengangkang. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan itu merupakan gambaran profesi saat orang itu masih hidup. Misalnya, apabila di waruga tersebut ada gambar binatang, maka orang yang dikubur di dalamnya, dahulunya adalah seorang pemburu. Atau hiasan orang yang sedang bermusyawarah, maka dahulu orang yang dikuburkan di waruga itu adalah seorang Dotu Tangkudu (hakim). Pada bagian depan kompleks kubur Waruga terdapat sebuah museum yang bentuknya berupa rumah panggung khas Minahasa. Di dalam museum itu terdapat beberapa lemari kaca yang menyimpan berbagai macam cincin, gelang, kalung, keramik Cina dari Dinasti Ming dan Ching, tulang belulang manusia dan lain sebagainya. Barang-barang tersebut adalah isi dari waruga yang telah dibongkar dan dipindahkan ke dalam museum. Sebagai catatan, mayat yang akan diletakkan di dalam waruga biasanya disertai dengan barang-barang perhiasan miliknya. Di sebelah museum, ada sebuah bangunan pendukung yang berbentuk rumah “modern”. Bangunan ini pada bagian depannya tidak berdinding dan di dalamnya terdapat sebuah kereta yang tampak seperti kereta pengangkut jenazah. Di Situs Sawangan juga ada juru perliharanya yang bertugas menjaga kebersihan dan keamanan waruga. Namun, karena banyaknya jumlah waruga di situs ini maka seorang juru pelihara tampaknya tidak memadai untuk menjaga kebersihan dan keamanan situs dan benda cagar budaya itu. Apabila tidak diperlihara dengan baik, dikhawatirkan waruga-waruga itu terancam akan mengalami kerusakan oleh tangan-tangan jahil dan pengaruh alam yang lebih parah lagi. Oleh sebab itu, waruga-waruga itu harus terus dilestarikan dengan direhab secara berkala, dipelihara atau dibersihkan secara rutin, agar tetap menjadi daya tarik bagi masyarakat wisatawan maupun pemerintah dan pihak-pihak yang berkaitan. Selain itu, apabila benda ini dilestarikan sesuai dengan kaidah-kaidah arkeologi, niscaya akan menjadikan objek benda cagar budaya ini menjad atraksi wisata yang cukup menarik. Kondisi waruga saat ini sudah tertata dan dalam keadaan terkumpul atau terkonsentrasi di dalam suatu kompleks. Yang perlu dilakukan terhadap kompleks waruga ini adalah agar bentuk pagar dan jalan-jalan setapak di dalam kompleks, supaya dibuat lebih alamiah dan sesuai dengan suasana megalitik yaitu dengan dilapisi batu-batu alam.

Dipublikasi di Uncategorized | 6 Komentar

Sejarah desa Sawangan

waruga sawanganGoa Sosolongen SaduanBatu KumururTulisan ini disadur dari tulisan seorang tokoh adat desa Sawangan, Bapak Lasut Mantiri, yang menurut beliau “legenda” ini dikutip dari alm. Longdong Manampiring yang merupakan tokoh adat generasi sebelumnya.

Menurut beliau……. Kurang lebih pada tahun 900, Dotu-dotu/opo-opo dari Selatan datang ke Utara dibawah pimpinan Dotu/Opo Runtuwarouw, sebagai Tu’udan (Kepala Rombongan).

Pada saat mereka tiba dan berhenti disuatu tempat, mereka berunding ditempat tersebut mendiskusikan lokasi yang akan mereka tinggali.  Akhirnya disepakati bahwa mereka akan tinggal ditempat dimana mereka berunding tersebut.

Tempat dimana mereka berunding tersebut sampai saat ini masih ada, terletak dipinggir kali Tondano depan Gardu Induk PLN Sawangan, yang berupa sebuah batu besar dan karena menurut “legenda” tersebut mereka berunding sambil jongkok (Kumurur) diatas batu tersebut, maka batu tersebut disebut orang sebagai batu Kumurur. Dan tempat yang disetujui mereka sebagai tempat bermukim, diberi nama Tumpaan, yang lokasinya saat ini berada disekitar SMP Negeri-4 Sawangan.

Bilamana ada yang meninggal dunia, jenazahnya didudukkan di suatu tempat yang terbuat dari batu yang dipahat yang disebut sebagai Waruga.

Karena batu yang bisa dipahat (Sarkofagus) tersebut  tidak bisa ditemukan di sembarang tempat, mereka memilih tempat khusus yang banyak mempunyai batu yang kontur-nya sesuai dengan yang mereka perlukan dan tempat tersebut sampai saat ini dikenal lokasinya di daerah Karepot dan Sosolongen Saduan.

Dalam suatu kurun waktu tertentu, tempat ini (Tumpaan) ditimpa musibah, yaitu penyakit sampar (diperkirakan penyakit Kolera), dan Dotu Runtuwarouw memerintahkan dotu-dotu muda untuk pindah tempat menuju ke Utara, menyusuri sungai Tondano.

Menurut “legenda” tersebut, untuk memastikan agar dotu-dotu muda tersebut tidak salah tempat, maka sang Dotu besar atau Tu’udan Runtuwarouw memberikan instruksi bahwa apabila Dotu tersebut telah tidur, mereka boleh berjalan menyusuri sungai sambil terus mendengar dengkuran dari Dotu tersebut.  Apabila dengkurannya sudah tidak terdengar lagi, ditempat itulah mereka harus berhenti dan memberi tanda sebagai batas.  Tanda batas tersebut berupa pohon Tawa’ang yang ditanam dan disebut sebagai Pasela.

Sebagai Pasela yang pertama yang merupakan batas dari kampung Tumpaan terletak di belokan Nenek Tracy (Nenetresi).

Setiap kali ada bencana atau penyakit sampar, Dotu Runtuwarouw kembali memerintahkan dotu-dotu muda untuk bejalan menuju Utara, dengan melakukan hal yang sama dengan sebelumnya yaitu mendengarkan dengkuran sang Dotu, sehingga Pasela kedua, terjadi lagi dan kali ini terletak ditengah desa Sawangan saat ini, yaitu dibawah perempatan Waruga saat ini yaitu tepatnya depan rumah Kel. Oley-Sibih.

Pada saat Pasela kedua ini telah ditanam, dotu-dotu muda melaporkan pada dotu Runtuwarouw, kemudian Dotu Runtuwarouw memerintahkan untuk membersihkan hutan-hutan disekitar tempat tersebut dan memindahkan pemukiman saat itu dari Tumpaan, menuju lokasi baru yang diberi nama Sawangan . Dotu Runtuwarouw membangun pondoknya di lokasi Kewong (sebutan saat ini), dan ini terjadi kurang lebih pada tahun 1100.

Arti negeri Sawangan yang dibangun oleh dotu-dotu yang timanik di Sawangan yaitu kerjasama antara dua sungai atau pertemuan antara dua sungai yaitu sungai Saduan dan sungai Tondano.

Karena pertumbuhan penduduk saat itu mulai bertambah dan dirasa perlu untuk memperluas wilayah desa saat itu, maka Dotu Runtuwarouw memerintahkan kembali dotu-dotu muda untuk berjalan lagi ke utara dan kembali mendengarkan dengkurannya sampai berhenti di Pasela ketiga, saat ini diketahui terletak di depan gereja Advent Hari Ketujuh.

Lokasi antara Pasela II dan Pasela III, diberi nama Koyawas.

Hal yang sama terjadi kemudian, dan Pasela keempat kemudian ditanam (lokasinya saat ini dikenal sebagai lokasi tanah dari Tete Adam Kalalo).

Lokasi antara Pasela III dan Pasela IV, diberi nama Kandibatu.

Namun pada akhirnya nama-nama ini kembali disatukan menjadi Sawangan.

Dipublikasi di Uncategorized | 7 Komentar

Agama-agama di desa Sawangan

Ada 2 agama besar yang dianut oleh penduduk desa Sawangan, yaitu Kristen dan Islam.  98 persen diantaranya menganut agama Kristen, yang dibagi lagi oleh enam aliran/7 gereja yaitu : – Aliran GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) yang merupakan organisasi gereja yang memiliki anggota terbanyak/ mayoritas dan tertua di desa ini, dengan memiliki 2 gereja, yaitu GMIM Imanuel serta GMIM Abraham. – Aliran GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia). – Aliran Roma Katolik – Aliran Advent Hari Ketujuh. – Aliran Pantekosta Tabernakel. – Aliran Gereja Segala Bangsa.

Satu hal yang menarik yaitu, kerukunan antar umat beragama di desa ini, sangat luar biasa karena setiap hari rabu malam akhir bulan diadakan ibadah bersama/ oikumene, dan dilaksanakan secara bergantian.  Kegiatan ibadah ini telah berlangsung lebih dari 10 tahun.

 

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Halaman awal sejarah desa Sawangan

Arti Kata “Kawanua”

Tulisan asli oleh: Yessy Wenas – Jakarta

Dalam bahasa Minahasa KAWANUA sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau “Mina-Esa” (Orang Minahasa). Kata KAWANUA telah diyakini berasal dari kata WANUA. Karena kata WANUA dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka pengertian kata WANUA juga mengalami perkembangan. Tadinya kata WANUA diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata WANUA diartikan sebagai negeri atau desa.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah WANUA – yang diartikan sebagai tempat pemukiman – sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak, masing-masing (1) Makarua Siouw, (2)Makatelu Pitu, (3)Telu Pasiowan.

Karena sistem Taranak melahirkan bentuk penerintahan turun-temurun, maka pada abad ke-17 terjadi suatu persengketaaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan “Makarua Siouw”, sehingga leluhur MUNTU-UNTU dan MANDEY dari “Makatelu Pitu” muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh WANUA – yang waktu itu terdiri dari (1)Tountumaratas, (2)Tountewu, (3)Toumbuluk

Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah PAKASA’AN yang beraasal dari kata ESA. PAKASAA’AN berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumoo’ong dan Sonder.

Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni Tounsea dan Toundano. Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Tondano terbelah lagi menjadi dua yakni (1)Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan (2)Masyarakat “Toundanau” yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu. Masyarakat di sekitar danau Tondano membentuk tiga walak yakni; Tondano Touliang, Tondano Toulimambot dan Kakas-Remboken. Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.

Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni maumbi, kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau “Hukum Mayor”, wilayah maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.

Masyarakat tombuluk sejak jaman Batu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah WANUA berkembang menjadi dua pengertian yaitu : (1)Ro’ong atau negeri, (2)Pengertian sempit, artinya NEGERI yang sama denga Ro’ong (desa atau kampung).

Jadi, kata WANUA, memiliki dua unsur yaitu (1)Ro’ong atau negeri (2)Taranak atau penduduk. Ro’ong itu sendiri memiliki unsur (a)WALE, artinya rumah dan (b)TANA. Kata TANA dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau Kobong). Kobong terbagi menjadi dua yaitu: “kobong kering” dan “kobong pece” (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata WANUA dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tiggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan. Si A bertanya pada si B; “Mange Wisa” (mau kemana ?) Kemudian B menjawab: “mange witi uma”: (pergi ke kobong), si B balik bertanya pada si A; “Niko Mange wisa” (kamu hendak kemana ?) si A menjawab; “Mange witi Wanua” (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk). Contoh lain adalah kata “Mina – Wanua”. Kata “Mina” artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata “Mina Amak” (Amak=Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.

Kata WANUA yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat “Rondoren um Wanua…” kata WANUA dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti hanya satu negeri saja. Maksudnya… melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.

Jadi dapat dilihat bahwa pengetian utama dari kata WANUA lebih megarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang mengaku turunan leluhur TOAR & LUMIMU’UT. Turunan dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, jawa, Sumatera dan sebagainya. Orang Minahasa boleh mendirikan WANUA diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaaan meletakkan “Watu I Pe-ro’ong” atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh tonaas khusus misalnya bergelar MAMANUA (Ma’Wanua=Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.

Setelah meneliti arti kata WANUA dari berbagai segi, kita teliti arti awalah KA pada kata KAWANUA. Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah,artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.

Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalah KA memberi arti teman, jadi, KA-WANUA dapat diartikan sebagai TEMAN SATU NEGERI, SATU RO’ONG, satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu “Marambak” (naik rumah baru)… “Watu tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua…” artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.

Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan “sisi’sile ne tou Mahasa” (buku A.L Waworuntu) dan a’ASAREN NE TOU Manhesa” artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis “A’asaren ne Kawanua” atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di Minahasa menamakan dirinya “Orang Minahasa” dan bukan “Orang Kawanua” selanjutnya baru diterangkan asal sub – etnisnya seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah KAWANUA dilahirkan oleh masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.

Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah KAWANUA untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin – mawin antara suku, masih merasa dekat dengan WANUA lalu melahirkan JAWANUA, BATAKNUA, SUNDANUA, dan lain sebagainya.

Catatan:

Penulis adalah anggota pengurus Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) Departemen Sosial Budaya.

Disadur dari Kawanua overclocking.

 

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar